Ketika Air Tak Lagi Tahu Arah Pulang
Lembang selama ini kita kenal sebagai dataran tinggi yang sejuk, tempat warga kota mencari udara bersih dan ketenangan. Namun hari-hari ini, hujan lebat bukan hanya membawa kabut. Ia membawa genangan. Bahkan, dalam beberapa kejadian ekstrem, membawa banjir bandang yang menghanyutkan tanaman, membanjiri rumah, hingga menutup akses jalan.
Lalu pertanyaannya muncul dengan wajar:
Bagaimana mungkin Lembang — wilayah di ketinggian 1.300 meter — bisa kebanjiran?
—
Dataran Tinggi Tak Lagi Aman
Secara logika, air selalu mengalir dari atas ke bawah. Itu sebabnya dataran tinggi biasanya terbebas dari risiko banjir. Tapi Lembang memberi pelajaran baru — bukan ketinggian yang menyelamatkan, tapi ekosistem yang sehat.
Dalam tiga tahun terakhir, beberapa kawasan di Lembang seperti Cisarua, Jayagiri, dan Parongpong mengalami genangan ekstrem setelah hujan deras. Drainase meluap, sungai kecil tak mampu menampung debit air, dan tanah tak lagi menyerap seperti dulu.
—
Penyebab Utama: Tata Ruang yang Kacau
1. Alih Fungsi Lahan Secara Masif
Perbukitan hijau Lembang pelan-pelan berubah menjadi perumahan vila, glamping, dan resor wisata. Tanah yang dulu menyerap air, kini tertutup paving blok dan bangunan beton. Ketika hujan turun deras, tak ada lagi ruang resapan — air langsung mengalir deras, mencari jalan ke bawah… atau ke rumah-rumah warga.
2. Pertanian Monokultur dan Plastik Mulsa
Model pertanian di lereng bukit juga berkontribusi. Lembang yang dulunya dikenal sebagai lumbung hortikultura kini menerapkan sistem pertanian intensif menggunakan plastik mulsa. Lahan tertutup plastik, tidak lagi menyerap air. Saat hujan datang, tanah pun kehilangan daya cengkramnya, dan longsor pun mengintai.
3. Minimnya Drainase yang Sesuai Kontur Alam
Banyak jalan di Lembang dibangun tanpa perencanaan drainase alami. Tidak ada jalur air, tidak ada saluran limpasan darurat. Akibatnya, air melimpah ke jalan dan pekarangan, bahkan mengikis pondasi rumah.
4. Pembabatan Vegetasi Lereng
Vegetasi alami seperti bambu, kopi hutan, atau pohon-pohon keras yang dulu memperkuat kontur tanah perlahan hilang. Digantikan oleh pembangunan wisata masif yang mengutamakan pemandangan, bukan keselamatan ekologis.
—
Peringatan dari Alam yang Diabaikan
Fenomena banjir di dataran tinggi bukan hanya soal air. Ini soal perlawanan alam terhadap eksploitasi diam-diam. Lembang seolah memberi kita peringatan keras: bahwa kemiringan tanah bukan jaminan, bila ketamakan tak dibendung.
> “Kami tidak anti pembangunan. Tapi pembangunan yang merusak alam akan menciptakan bencana buatan manusia,” ujar Dede Iskandar, pegiat lingkungan dari Komunitas Cekungan Bandung Utara.
—
Solusi: Pulihkan Lembang, Sebelum Ia Menghukum Kita
Untuk menyelamatkan Lembang dari krisis ekologis yang makin nyata, perlu langkah tegas dan kolektif:
Moratorium sementara pembangunan komersial di zona hijau.
Rehabilitasi lereng dan kawasan resapan dengan vegetasi asli.
Audit tata ruang oleh lembaga independen, bukan hanya formalitas dokumen.
Kampanye publik soal pentingnya menanam pohon dan menjaga kontur tanah.
Lebih dari itu, dibutuhkan keberanian politik untuk mengatakan cukup terhadap eksploitasi lahan.
—
Penutup: Jangan Biarkan Lembang Tenggelam di Tangan Kita Sendiri
Banjir di Lembang bukan fenomena alam biasa. Ia adalah refleksi dari salah urus ruang dan kebijakan yang lebih berpihak pada investor ketimbang warga. Jika kita tidak belajar dari peristiwa ini, jangan salahkan siapa-siapa saat nanti Lembang bukan lagi tempat menenangkan diri — tapi tempat kita menanggung sesal.
M.Syamil